Kamis, 21 November 2013

Ringkasan Kitab Itihasa

KITAB ITIHASA

itihasa 

ITIHASA

    1.     Itihāsa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah-kisah epik/kepahlawanan para Raja dan ksatria Hindu pada masa lampau dan dibumbui oleh filsafat agama, mitologi, dan makhluk supernatural. Itihāsa berarti “kejadian yang nyata”. Itihāsa yang terkenal ada dua, yaitu Ramayana dan Mahābhārata.
      Kitab Itihāsa disusun oleh para Rsi dan pujangga India masa lampau, seperti misalnya Rsi Walmiki dan Rsi Vyāsa. Cerita dalam kitab Itihāsa tersebar di seluruh daratan India sampai ke wilayah Asia Tenggara. Pada zaman kerajaan di Indonesia, kedua kitab Itihāsa diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa kuna dan diadaptasi sesuai dengan kebudayaan lokal. Cerita dalam kitab Itihāsa diangkat menjadi pertunjukkan wayang dan digubah menjadi kakawin.
     Itìhàsa merupakan Kitab yang tergolong Smerti pada bagian Upangaweda. Kata Itihasa berasal dari 3 bagian yaitu iti + ha + asa (iti = begini, ha = tentu, asa = sudah terjadi) jadi kata Itihasa artinya sudah terjadi begitu. Namun dalam perkembangan yang terjadi sampai saat ini khususnya diIndia kata Itihasa sering dihubungkan sebagai Sejarah. Sehingga Itihasa adalah cerita berdasarkan latar sejarah yang memasukkan nilai-nilai ajaran Weda didalamnya.
        Itìhàsa sering disebut juga sebagai Wiracarita, karena cerita ini dahulu sering diceritakan melalui tradisi mulut ke mulut. Wiracarita (Wira=Laki, Pahlawan, Berani, Perwira; Carita=cerita) jadi Wiracarita adalah Cerita kepahlawanan. Cerita kepahlawanan ini didasarkan pada latar sejarah para raja, Namun nilai-nilainya tetap diambil dari Weda. Hal tersebut dipertegas dalam Mahabharata pada Svargarohana Parva (5.57) yaitu Parva ke 18.

Itihàsmimaý puóyaý mahàrtaý vedasamitam
Vyàsoktaý sruyate yena kåtvà bràhmaóamagrataá

Cerita ini adalah peristiwa sejarah, dan mengandung makna yang dalam, dan mengandung ajaran yang ada pada cerita ini sama seperti ajaran suci Weda. Karya Maharsi Wyasa hendaknya didegar terlebih bagi seorang Brahmana.

         Dari kreteria yang tersebut di atas maka Itihasa atau Wiracarita merupakan salah satu model penjelasan dari Weda yang dilatarkan pada cerita sejarah yang terjadi. Hal tersebut didasarkan atas bukti-bukti sejarah yang menunjukan bahwa tempat kejadian dalam Itihasa masih ada. Contohnya yaitu Kuruksetra medan perang Pandawa dan Kurawa, Jembatan Situbanda penyebrangan Rama ke Alengka dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun kandungan makna yang terdapat di dalamnya bisa kita temukan nilai-nilai ajaran Weda.
              Itìhàsa sebagai penjelasan lebih disebabkan metode ini lebih bisa dimengerti oleh masyarakat umum melalui cerita sehingga esensi ajaran Weda bisa langsung dipahami dan diterapkan sebagai pedoman hidup.
Dua Itìhàsa yang sangat terkenal adalah Ramayana dan Mahabarata. Penyusun Kitab Ramayana adalah Maharsi Walmiki sedangkan Kitab Mahabarata disusun oleh Maharsi Wyasa. Kedua Kitab tersebut di atas sangat popular di masyarakat sehingga dalam beberapa kesempatan mendapatkan tempat untuk dibacakan pada saat ada upacara-upacara keagamaan baik sekarang maupun di masa lalu.
                Cerita dalam kitab Itihāsa tersebar di seluruh daratan India sampai ke wilayah Asia Tenggara. Pada zaman kerajaan di Indonesia, kedua kitab Itihāsa diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa kuna dan diadaptasi sesuai dengan kebudayaan lokal. Cerita dalam kitab Itihāsa diangkat menjadi pertunjukkan wayang dan digubah menjadi kakawin maupun prosa. 


 
2. Ruang Lingkup Kitab Itìhàsa

            Kitab Itìhàsa terdiri dari dua buah kitab besar yaitu Ramayana dan Mahabaratha. Ramayana karya Maharsi Walmiki terdiri dari 7 Kanda dengan 24.000 sloka. Ramayana berarti kisah perjalanan Sri Rama. Ramayana dibagi menjadi tujuh kitab atau kanda sebagai berikut:

1. Balakanda, Kitab Balakanda merupakan awal dari kisah Ramayana. Kitab Balakanda menceritakan Prabu Dasarata yang memiliki tiga permaisuri, yaitu: Kosalya, Kekayi, dan Sumitra. Prabu Dasarata berputra empat orang, yaitu: Rama, Bharata, Lakshmana dan Satrughna. Kitab Balakanda juga menceritakan kisah Sang Rama yang berhasil memenangkan sayembara dan memperistri Sita, puteri Prabu Janaka.

2. Ayodhyakanda, Kitab Ayodhyakanda berisi kisah dibuangnya Rama ke hutan bersama Dewi Sita dan Lakshmana karena permohonan Dewi Kekayi. Setelah itu, Prabu Dasarata yang sudah tua wafat. Bharata tidak ingin dinobatkan menjadi Raja, kemudian ia menyusul Rama. Rama menolak untuk kembali ke kerajaan. Akhirnya Bharata memerintah kerajaan atas nama Sang Rama.

3. Aranyakanda, Kitab Aranyakakanda menceritakan kisah Rama, Sita, dan Lakshmana di tengah hutan selama masa pengasingan. Di tengah hutan, Rama sering membantu para pertapa yang diganggu oleh para rakshasa. Kitab Aranyakakanda juga menceritakan kisah Sita diculik Rawana dan pertarungan antara Jatayu dengan Rawana.

4. Kiskindhakanda, Kitab Kiskindhakanda menceritakan kisah pertemuan Sang Rama dengan Raja kera Sugriwa. Sang Rama membantu Sugriwa merebut kerajaannya dari Subali, kakaknya. Dalam pertempuran, Subali terbunuh. Sugriwa menjadi Raja di Kiskindha. Kemudian Sang Rama dan Sugriwa bersekutu untuk menggempur Kerajaan Alengka.

5. Sundarakanda, Kitab Sundarakanda menceritakan kisah tentara Kiskindha yang membangun jembatan Situbanda yang menghubungkan India dengan Alengka. Hanuman yang menjadi duta Sang Rama pergi ke Alengka dan menghadap Dewi Sita. Di sana ia ditangkap namun dapat meloloskan diri dan membakar ibukota Alengka.

6. Yuddhakanda, Kitab Yuddhakanda menceritakan kisah pertempuran antara laskar kera Sang Rama dengan pasukan rakshasa Sang Rawana. Cerita diawali dengan usaha pasukan Sang Rama yang berhasil menyeberangi lautan dan mencapai Alengka. Sementara itu Wibisana diusir oleh Rawana karena terlalu banyak memberi nasihat. Dalam pertempuran, Rawana gugur di tangan Rama oleh senjata panah sakti. Sang Rama pulang dengan selamat ke Ayodhya bersama Dewi Sita.

7. Uttarakanda, Kitab Uttarakanda menceritakan kisah pembuangan Dewi Sita karena Sang Rama mendengar desas-desus dari rakyat yang sangsi dengan kesucian Dewi Sita. Kemudian Dewi Sita tinggal di pertapaan Rsi Walmiki dan melahirkan Kusa dan Lawa. Kusa dan Lawa ating ke istana Sang Rama pada saat upacara Aswamedha. Pada saat itulah mereka menyanyikan Ramayana yang digubah oleh Rsi Walmiki.
Demikian jumlah sloka Ramayana menakati 24.000 buah namun dalam setiap edisi jumlah slokanya mungkin berbeda dikarenakan terdapat beberapa versi berbeda. Sedangkan di Indonesia Ramayana dikenal melalui Kekawin yang penulisnya tidak dikenalsecara pasti namun terdapat nama Yogiswara dalam tulisan akhirnya.
Kitab Mahabarata berasal dari kata Maha berarti besar dan Bharata berarti raja-raja dari dinasti Bharata. Jadi Mahabharata adalah cerita agung dari keluarga Bharata.
Namun dalam perjalanannya Kitab Mahabarata mengalami 3 tahap pengembangan diantaranya :
1. Jaya Samhita oleh Wyasa 8.800 Sloka
2. Bharata Samhita oleh Waisampayana 24.000 Sloka
3. Mahabharata Samhita Oleh Suta Ugrasrwa 100.000 Sloka
Selain berisi cerita kepahlawanan (
wiracarita), Mahabharata juga mengandung nilai-nilai Hindu, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama Hindu. Kisah yang semula ditulis dalam bahasa Sansekerta ini kemudian disalin dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti perkembangan peradaban Hindu pada masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara.
          Di India ditemukan dua versi utama Mahabharata dalam bahasa Sansekerta yang agak berbeda satu sama lain. Kedua versi ini disebut dengan istilah "Versi Utara" dan "Versi Selatan". Biasanya versi utara dianggap lebih dekat dengan versi yang tertua.
Mahābhārata merupakan kisah epik yang terbagi menjadi delapan belas kitab atau sering disebut
Astadasaparwa. Rangkaian kitab menceritakan kronologi peristiwa dalam kisah Mahābhārata, yakni semenjak kisah para leluhur Pandawa dan Korawa (Yayati, Yadu, Puru, Kuru, Duswanta, Sakuntala, Bharata) sampai kisah diterimanya Pandawa di surga.
1.
Adiparwa, Kitab Adiparwa berisi berbagai cerita yang bernafaskan Hindu, seperti misalnya kisah pemutaran Mandaragiri, kisah Bagawan Dhomya yang menguji ketiga muridnya, kisah para leluhur Pandawa dan Korawa, kisah kelahiran Rsi Byasa, kisah masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kisah tewasnya rakshasa Hidimba di tangan Bhimasena, dan kisah Arjuna mendapatkan Dropadi.

2. Sabhaparwa, Kitab Sabhaparwa berisi kisah pertemuan Pandawa dan Korawa di sebuah balairung untuk main judi, atas rencana Duryodana. Karena usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan selama dua kali oleh Korawa sehingga sesuai perjanjian, Pandawa harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun dan setelah itu melalui masa penyamaran selama 1 tahun.

3. Wanaparwa, Kitab Wanaparwa berisi kisah Pandawa selama masa 12 tahun pengasingan diri di hutan. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah Arjuna yang bertapa di gunung Himalaya untuk memperoleh senjata sakti. Kisah Arjuna tersebut menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.

4. Wirataparwa, Kitab Wirataparwa berisi kisah masa satu tahun penyamaran Pandawa di Kerajaan Wirata setelah mengalami pengasingan selama 12 tahun. Yudistira menyamar sebagai ahli agama, Bhima sebagai juru masak, Arjuna sebagai guru tari, Nakula sebagai penjinak kuda, Sahadewa sebagai pengembala, dan Dropadi sebagai penata rias.

5. Udyogaparwa, Kitab Udyogaparwa berisi kisah tentang persiapan perang keluarga Bharata (Bharatayuddha). Kresna yang bertindak sebagai juru damai gagal merundingkan perdamaian dengan Korawa. Pandawa dan Korawa mencari sekutu sebanyak-banyaknya di penjuru Bharatawarsha, dan hampir seluruh Kerajaan India Kuno terbagi menjadi dua kelompok.

6. Bhismaparwa, Kitab Bhismaparwa merupakan kitab awal yang menceritakan tentang pertempuran di Kurukshetra. Dalam beberapa bagiannya terselip suatu percakapan suci antara Kresna dan Arjuna menjelang perang berlangsung. Percakapan tersebut dikenal sebagai kitab Bhagavad Gītā. Dalam kitab Bhismaparwa juga diceritakan gugurnya Resi Bhisma pada hari kesepuluh karena usaha Arjuna yang dibantu oleh Srikandi.

7. Dronaparwa, Kitab Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan Bagawan Drona sebagai panglima perang Korawa. Drona berusaha menangkap Yudistira, namun gagal. Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh Drestadyumna ketika ia sedang tertunduk lemas mendengar kabar yang menceritakan kematian anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu dan Gatotkaca.

8. Karnaparwa, Kitab Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karna sebagai panglima perang oleh Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana oleh Bhima. Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran antara mereka. Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17.

9. Salyaparwa, Kitab Salyaparwa berisi kisah pengangkatan Sang Salya sebagai panglima perang Korawa pada hari ke-18. Pada hari itu juga, Salya gugur di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan saudaranya, Duryodana menyesali perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi dengan Bhima. Dalam perkelahian tersebut, Duryodana gugur, tapi ia sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima.

10.    Sauptikaparwa, Kitab Sauptikaparwa berisi kisah pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama Kripa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa. Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa.

11.     Striparwa, Kitab Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya.

12.     Santiparwa, Kitab Santiparwa berisi kisah pertikaian batin Yudistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna. Mereka menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya sebagai Raja.

13.     Anusasanaparwa, Kitab Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang Raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang.

14.     Aswamedhikaparwa, Kitab Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Raja Yudistira. Kitab tersebut juga menceritakan kisah pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit yang semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri Kresna.

15.   Asramawasikaparwa, Kitab Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh api sucinya sendiri.

16.    Mosalaparwa, Kitab Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsa Wresni. Sri Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong. Atas nasihat Rsi Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan meninggalkan dunia fana.

17.     Mahaprastanikaparwa, Kitab Mahaprastanikaparwa menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara tahta kerajaan diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan para Pandawa (kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan.

18.    Swargarohanaparwa, Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia. Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.
            Demikian cerita Mahabharata terbagi dalam 18 Parwa yang masing-masing memiliki nilai-nilai kehidupan.



3. Masa Penyusunan Kitab-kitab Itihasa

         Hal yang menimbulkan penasaran adalah kapan itihasa ini mulai ditulis. Namun dari penelitian para sarjana didapat sebuah kesimpulan bahwa karya Ramayana lebih dahulu ada dibandingkan Mahabharata. Hal tersebut didasaran pada sloka Ramayana yang tidak memuat hal yang ada pada Mahabharata. Namun masih banyak ditemukan sloka yang berisi tetang kejadian yang atau penyebutan tokoh dalam Ramayana di dalam Mahabharata.
                    Itihasa popular dimasyarakat sebagai sebuah sastra adalah sekitr abad ke 6-3 SM. Dan sebagai Sastra sekterian vasnawa sekitar abad ke-2 SM. Dan menurut sarjana barat seperti Macdonell, Hopkins dan Keith sepakat bahwa Itihasa muncul bersamaan sekitar abad ke 6-3 SM. Jadi dalam kurun waktu ini sudah di tulis itihasa.
Sarjana India P.Lal memperkirakan penulisan Ramayana secara kasar sekitar abad ke 15-2 SM. Hal tersebut didasarkan atas penemuan Arkeologis yang menemukan kota Shringaverapura dalam Ramayana yang berumur 2800 tahun.
               Itihasa termuat tokoh Rama dan Kresna yang pada hakekatnya tokoh tersebut lebih dulu ada ketimbang zaman Budha yaitu sekitar abad ke-5 SM. Kejadian ini bila menurut David Frawley mengacu pada kosologi alam yang tergamar dalam Weda, zaman Weda berada tahun 6500-2000 SM. Kemudian Zaman Ramayana terjadi sekitar tahun 4750 SM, sedangkan Mahabharata tahun 3000 SM.
              Dari semua keterangan di atas banyak pedapat dengan berbagai argumentasi namun belum bisa dipastikan kapan kejadian ini terjadi dan di tulis. Hanya perkiraan yang didasarkan pada persepektif tertentu.
           Di Indonesia Hindu mulai masuk pada abad ke 4. Pada abad ini di india sedang popularna Itihasa sehingga zaman berkembangnya Itihasa di India sangat berpegaruh terhadap perkembangan agama Hidu di Indonesia.
Dari susastra Ramayana dan Mahabharata didapat bahwa terdapat proyek menjawakan karya Bagawan Wyasa. Hal tersebut terbukti dengan ditemukan gubahan-gubahan berbetuk Kekawin, Prosa maupun Kidung.
               Tentang masa pengubahan Ramayana di Jawa terdapat beberapa pendapat Zoutmulder berpendapat bahwa Kekawin Ramayan ditulis pada masa kerajaan Kediri abad ke 11-12 M. ada juga yang menyatakan Kekawin ini ditulis pada masa pemerintahan Diah Balitung tahun 898-910 M. ada juga yang menyatakan bahwa karya ini ditulis pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh tahun 991-1007 M. Semua pendapat ini didasarkan atas karenkter tulian dengan membandinkan prasasti yang ada.
                Di
Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa.
Yang terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk
kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah satu yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwaha (Arjunawiwāha, perkawinan Arjuna) gubahan mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984) dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu raja Dharmawangsa.
              Karya sastra lain yang juga terkenal adalah kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan bagi Prabu
Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan raja Daha (Kediri) tersebut. Di luar itu, mpu Panuluh juga menulis kakawin Hariwangśa di masa Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah Gaţotkacāśraya di masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri.
Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya adalah
Kŗşņāyana (karya mpu Triguna) dan Bhomāntaka (pengarang tak dikenal) keduanya dari jaman kerajaan Kediri, dan Pārthayajña (mpu Tanakung) di akhir jaman Majapahit. Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali.
               Di samping itu, mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi berbagai bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di
Jawa dan Bali, mulai dari seni patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang. Di dalam masa yang lebih belakangan, kitab Bharatayuddha telah disalin pula oleh pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa Jawa modern pada sekitar abad ke-18.

4.ITIHASA : SUMBER AJARAN AGAMA HINDU

A.    Ajaran  Ketuhanan ( Brahmavidyᾱ)

        Bila kita mengkaji lebih jauh tentang ajaran Sradha, khususnya keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sejak proses penyusunan sampai dengan bagian akhir kitab Ramayana , karya Maharsi Valmiki ini menunjukan pemujaan kepada dewa-dewa Trimurti.

          Seperti di suratkan oleh Maharsi Valmiki, pemujaan kepada dewa-dewa Trimurti berasal dari masa yang amat tua. Berbagai mantram di dalam kitab suci Rgveda secara terpisah menunjukan pemujaan kepada Kekuatan Tertinggi (Supreme Power) seperti Brahma, Visnu, atau Siva yang merupakan bentuk satu segi tiga, namun di balik yang tiga itu sesungguhnya satu seperti di sebutkan oleh beberapa mantram Veda tentang keesaan Tuhan Yang Maha Agung yang menampilkan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud dan nama-nama yang berbeda-beda(Rgveda I.64.46)

       Dewa-dewa yang sangat dominan di dalam Veda adalah Dewa Agni, Indra,Wahyu, dan Surya. Di dalam kitab Purana, dewa-dewa tersebut diidentifikasikan dan digantikan posisinya oleh Dewa-Dewa Tri Murti. Agni diidentikan dengan Brahma, Indra dan Vayu diidentikan dengan Wisnu, dan Surya diidentikan dengan Siva. Pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud Dewa-dewa Tri Murti tersebut ditemukan juga didalam kitab-kitab Itihasa baik Ramayana maupun Mahabharata. Pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui Dewa Tri Murti menunjukan pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Agung melalui fungsi dan nama yang berbeda-beda.

        Seperti halnya pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di dalam kitab-kitab Purana, maka di dalam kitab-kitab Itihasa ( Ramayana dan Mahabharata) yang sangat penting dan dominan dipuja adalah Dewa Brahma, Wisnu, Siwa, Ganesa, Laksmi, dan Parvati. Demikian pula pemujaan kepada Dewa Surya, Agni, dan lain-lain yang beasal dari zaman Veda masih berlanjut pada kitab-kitab Itihasa. ( Roychoudary, 1983:69)

B.     Ajaran Moralitas dalam Ramayana
        
       Kata moral berasal dari bahasa Latin mos ( jamak: mores) yang berarti: kebiasaan, adat. Dalam bahasa Inggris, dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia , kata mores dipakai dalam arti  sama dengan kata ‘ etika’,yakni dalam 3 arti, yaitu: 1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (ahlak); 2)  kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan ahlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.
  
         Ajaran etika atau moralitas dalam Agama Hindu memiliki keddukan yang sangat penting, karena hakekatnya, pengalaman ajaran agama akan memancardalam prilaku, etika atau moralitas. Etika atau moralitas masih bersifat filosofis,sedang tata susila atau budi pekerti merupakan perbuatan yang sifatnya empiric. Ajaran moralitas menuntun umat manusia senantiasa untuk berbuat baik dan benar, menghindarkan diri dari perbuatan yang salah dan tidak benar.

       Mengingat Itihasa seperti pula halnya kitab-kitab Purana yang mrupakan glossary dan sekaligus pula ensiklopedi dari ajaran suci Veda, maka semua ajaran moralitas yang terkandung di kitab suci Veda akan ditemukan penglamannya di dalam kitab-kitab Itihasa.

        Ramayana mungkin menggambarkan sebagai suatu pedoman moral tanpa memasukkanya dalam tekniknyayang detail yang akan membimbing pembaca dalam menghadapi kewajiban-kewajiban hidup. Hal ini memberi petunjuk terhadap prinsip secara umum oleh keluarga dan kehidupan rumah tangga, secara spesifikasi sejumlah kasus yang paling mungkin terjadi sebenarnya. Ini merupakan ekspresi tentang penyelidikan ajaran moralitas dan semangat religious.

        Ada penulis tentang moral yang diberikan secara abstrak dan prinsip formal tentang moralitas,yang sering tidak dipraktekan sebab merupakan kontek di luar kehidupan, tetapi Valmiki member contoh yang kongkret tentang prinsip-prinsip kebenaran dari perbuatan manusia secara nyata (Bhattcharji,1984,210). Ramayana (Bansi,2005:266) menggambarkan pemikiran Hindu tentang kesucian wanita dan pria, persahabatan, kesetiaan, pengorbanan, tugas raja dan hubungan keluarga. Beberapa persoalan berkaitan dengan moral atau morlitas dapat ditemukan dalam Ramayana diantaranya ( Bansi, 2005:283). Persoalan etika dan moralitas lainnya adalah cerita sisipan pada Uttarakanda (LXXV.14) yakni cerita seorang Sudra bernama Sambuka.

C.     Ajaran Kepemimpinan dalam Ramayana
     Kepemimpinan adalah keseluruhan aktivitas atau tindakan untuk mempengaruhi serta mengiatkan orang dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan. Di dalam Ramayana karya Maharsi Valmiki dapat dijumpai berbagai macam ajaran kepemimpinan yang di tunjukan oleh prilaku Sri Rama, seperti senantiasa berpegang teguh kepada kebenaran, pikirannya yang luhur, keteguhan hati, keberanian, kasih saying, dan pengorbanan diri.

       Dalam kitab Ramayana, Sri Rama mengajarkan kepada Gunawan Vibhisana tentang kepemimpinan yang disebut dengan nama Asta Brata. Asta Brata adalah delapan landasan mental atau moral bagi seorang pemimpin. Bagian-bagian Asta Brata tersebut adalah sebagai berikut:
a.      Indra Brata, artinya seorang pemimpin hendaknya mengikuti sifat-sifat Dewa Indra, yaitu sebagai dewa hujan.
b.      Yama Brata, artinya pemimpin hendaknya mengikuti sifat-sifat Dewa Yama, yaitu menciptakan hukum, menegakan hokum, dan memberikan hukuman secara adil kepada setiap orang yang bersalah.
c.      Surya Brata, artinya seorang pemimpin hendaknya memberikanpenerangan secara adil dan merata kepada masyarakatnya dan selalu berhati-hati menyerap air.
d.      Candra Brata, artinya seorang pemimpin hendaknya selalu dapat menunjukan wajah yang tenang dan berseri-seri sehingga masyarakat yakni akan kebesaran jiwa dari pemimpinannya.
e.      Bayu Brata, artinya seorang pemimpin hendaknya selalu mengetahui dan menyelidiki keadaan yang sebenarnya,terutama keadaan masyarakat yang hidupnya paling menderita.
f.       Danadha Brata artinya seorang pemimpin harus bijaksana dalam mempergunakan dana atau uang.
g.      Baruna Brata, artinya seorang pemimpin hendaknya dapat membersihka segala bentuk penyakit masyarakat dan memiliki pengetahuan yang luas.
h.      Agni Brata, artinya seorang pemimpin harus memiliki sifat kesatria yang disertai dengan semangat yang tinggi.

Di Bali umat Hindu mewarisi ajaran kepemimpinan yang bersumber pada kitab Ramayana Kakavin(XXIV.51-60) berbahasa Jawa Kuno(Santoso,1980:623) yang populer disebut Astabrata. Demikian ajaran ketuhanan(teologi), ajaran moralitas dan kepemimpinan yang dapat di temukan dalam kitab Ramayana.

 
 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar